KOLABORASI LINTAS SEKTORAL PENCEGAHAN PERKAWINAN ANAK
Wakil Ketua PA Lamongan Kelas IA, Dr. H. Ahmad Zaenal Fanani, SHI., M.Si., menjadi nara sumber dalam kegiatan yang diadakan oleh kerjasama USAID ERAT dan Pemkab Lamongan tentang sinergi dan koordinasi lintas sektoral pencegahan perkawinan anak pada hari Kamis (27/10/2022). Kegiatan tersebut dihadiri perwakilan dari berbagai Dinas/lembaga, perguruan tinggi, ormas NU, Muhammadiyah, LSM, organisa wanita dan tim penggerak PKK yang ada di Lamongan.
Fenomena perkawinan anak yang meningkat menjadi keprihatinan berbagai pihak terutama pasca disahkannya UU Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menaikkan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun untuk pria dan wanita.
Wakil Ketua PA Lamongan menjelaskan bahwa secara kuantitatif jumlah perkawinan anak di Lamongan tidak banyak atau bahkan termasuk kecil jika dibandingkan dengan jumlah perkawinan anak di kabupaten atau daerah lain di jawa timur. Tetapi mengalami peningkatan jumlahnya pasca adanya kenaikan usia perkawinan.
Fenomena perkawinan anak di Lamongan bisa dilihat dari data Perkara dispensasi kawin (Diska) di peradilan agama. Perkara Diska adalah perkara permohonan ijin kawin terhadap calon suami/isteri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan. Data perkara Diska tahun 2020 ada 426 dengan rincian dikabulkan 415, dicabut 8, tidak diterima 1, digugurkan 2. Tahun 2021 ada 426, dengan rincian dikabulkan 423, dicabut 2, tidak diterima 0, digugurkan 1. Dan data tahun 2022 (januari sd 17 Oktober) ada 384 perkara, dengan rincian dikabulkan 384, dicabut 0, tidak diterima 0, digugurkan 0.
Data diatas terkait perkara Diska di Lamongan harus menjadi keprihatinan semua pihak. Harus menjadi bahan evaluasi semua pemangku kebijakan terkait.
Pendekatan pencegahan itu harus holistic
Dalam pemaparannya, Ahmad Zaenal Fanani menegaskan Persoalan perkawinan anak adalah persoalan kompleks dan oleh karenanya harus didekati dengan pendekatan yang holistik. Harus menjadi gerakan bersama semua stakeholder terkait.
“Pendekatannya harus holistik. Tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum oleh hakim, tapi juga harus dengan pendekatan agama, budaya, sosial, kesehatan dan psikologi dengan melibatkan semua pemangku kebijakan terkait”, jelasnya.
Pemerintah (eksekutif) mulai pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten sampai desa harus aktif melakukan SOSIALISASI dan EDUKASI secara massif untuk membangun kesadaran hukum masyarakat terkait dampak dan bahaya perkawinan anak.
MUI dan ormas keagamaan, dosen serta tokoh-tokoh agama juga harus ikut serta aktif mengkampayekan bahaya perkawinan anak dengan melakukan REINTERPRETASI TEKS-TEKS AGAMA agar lebih berorientasi pada pencegahan perkawinan anak.
Komnas anak dan perempuan dan LSM yang bergerak dibidang anak dan perempuan juga harus melakukan gerakan massif PENCERAHAN membangun kesadaran hukum masyarakat.
KURIKULUM pendidikan mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi perlu memasukkan materi tentang hak-hak reproduksi dan bahaya perkawinan anak. (abu aisyah el-mafaza).
Berita Terkait: