Pembaruan Peradilan sebagai Ikhtiar Mewujudkan Court Excellence
Dr. Ridwan Mansyur, S.H., M.H.
Panitera Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nothing endures but change, begitulah statemen Heraclictus, seorang filsuf kenamaan Yunani. Di dunia ini tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Demikian halnya kebutuhan atas layanan pengadilan, seiring perkembangan zaman, ia terus berkembang dan berubah. Publik menghendaki agar pengadilan mampu dan senantiasa beradaptasi dengan laju perkembangan peradaban. Tidak ada jalan lain untuk dapat memenuhi ekspektasi publik tersebut kecuali dengan satu cara: pembaruan.
Mahkamah Agung memiliki komitmen serius dalam hal pembaruan peradilan. Untuk mempertegas komitmentersebut, disusunlah Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035.. Cetak biru ini merupakan peta jalan sekaligus mercusuar yang akan memandu dan memberi petunjuk arah pembaruan peradilan agar dapat berjalan lebih terstruktur, terukur, serta tepat sasaran.
Pembaruan peradilan mutlak diperlukan untuk memenuhi nilai-nilai inti Court Excellence. Bertolak dari sini, kemudian muncullah pertanyaan: 1) nilai-nilai apa saja yang mutlak harus dipenuhi untuk mewujudkan Court Excellence? 2) apa saja pembaruan-pembaruan yang telah diikhtiarkan oleh Mahkamah Agung? 3) apakah pembaruan-pembaruan yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut telah selaras dengan nilai-nilai Court Excellence? Artikel ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Nilai-Nilai Inti Court Excellence
Dalam mengagendakan pembaruan, Mahkamah Agung mengacu pada Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, sedangkan Cetak Biru tersebut disusun dengan menggunakan pendekatan Kerangka Pengadilan yang Unggul (The Framework of Court Excellence). Kehendak terwujudnya peradilan yang unggul bukan saja terjadi di Indonesia. Dunia internasional juga menghendaki hal itu. Oleh karenanya, peradilan-peradilan di belahan dunia kemudian bertemu, menyepakati, dan menerapkan sebuah standar internasional untuk menyelenggarakan sistem peradilan. Standar tersebut dinamakan dengan International Framework for Court Excellence.
International Framework for Court Excellence adalah sistem manajemen mutu yang dirancang untuk membantu pengadilan meningkatkan kinerjanya. Sistem ini merupakan pendekatan yang komprehensif untuk mencapai pengadilan yang unggul. Kerangka ini merupakan metodologi peningkatan berkelanjutan yang memandu perjalanan pengadilan untuk menuju pengadilan yang unggul dengan memastikan pengadilan secara aktif dan terus-menerus meninjau kinerjanya sekaligus mencari cara untuk meningkatkan kinerjanya. Ada empat kegiatan primer dalam siklus kerangka ini:
1. Penilaian mandiri. Siklus ini adalah pemeriksaan kondisi pengadilan dan melibatkan analisis kinerja di tujuh area;
2. Analisis mendalam atas penilaian mandiri untuk menentukan bidang-bidang kerja pengadilan apa saja yang mampu ditingkatkan;
3. Rencana perbaikan dikembangkan dengan merinci area yang diidentifikasi untuk perbaikan, tindakan yang diusulkan untuk perbaikan, dan hasil yang ingin dicapai;
4. Pemantauan rencana peningkatan berdasarkan tinjauan dan perbaikan.
Metodologi Penilaian Berkelanjutan
International Framework for Court Excellencemengakui ada kesepakatan internasional mengenai nilai-nilai inti yang diterapkan oleh pengadilan dalam menjalankan peran mereka. Nilai-nilai inti ini membantu pengadilan untuk mewujudkan proses hukum yang adil dan tersedianya perlindungan hukum yang sama di hadapan hukum untuk semua orang yang memiliki kepentingan di pengadilan. Nilai-nilai inti tersebut adalah:
Pertama, fairness. Fairness identik dengan keadilan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan keadilan sebagai: 1) sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak, 2) berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; 3 sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Adil mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma objektif. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, setiap orang tidak sama. Adil menurut seseorang belum tentu adil bagi yang lainnya. Oleh sebab itu, ketika seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum dimana suatu skala keadilan diakui.
Kedua, impartiality. Ketidakberpihakan merupakan syarat utama terselenggaranya proses peradilan yang jujur dan adil, serta dihasilkannya suatu putusan yang berkeadilan dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu, aparatur peradilan harus tidak berpihak dalam memperlakukan pihak-pihak yang berperkara.
Ketiga, independence. Kemandirian dapat dipilah menjadi dua jenis: kemandirian institusional dan kemandirian fungsional. Kemandirian institusional berarti bahwa badan peradilan harus bebas dari intervensi pihak lain di luar kekuasaan kehakiman (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Sedangkan kemandirian fungsional artinya setiap aparatur peradilan wajib menjaga kemandirian dalam menjalankan tugas dan fungsinya (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Keempat, competence. Kompeten artinya cakap; mengetahui. Salah satu kriteria badan peradilan unggul adalah apabila ia mampu mengelola dan membina sumber daya manusia yang kompeten dengan kriteria obyektif, sehingga tercipta aparatur peradilan yang berintegritasdan profesional.
Kelima, transparency. Salah satu upaya badan peradilan untuk menjamin adanya perlakuan sama di hadapan hukum, perlindungan hukum, serta kepastian hukum yang adil, adalah dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi. Keterbukaan informasi ini adalah unsur terpenting dalam terminologi transparansi badan peradilan.
Keenam, accessibility. Akses untuk memperoleh keadilan merupakan hak setiap warga negara tanpa membedakan strata sosialnya. Akses terhadap keadilan (access to justice) dapat diartikan sebagai kesempatan untuk mendapatkan keadilan yang berlaku bagi semua kalangan atau sering disebut dengan istilah justice for all. Dalam kerangka normatif, negara telah memberikan jaminan dan kesempatan yang sama bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperoleh keadilan, sebagaimana tertuang di dalam Pasal 28D UUD 1945.
Ketujuh, timeliness. Ketepatan waktu mencerminkan keseimbangan antara waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan, menyajikan, serta menimbang bukti hukum, aturan hukum, argumen hukum, denganpenundaan yang tidak beralasan akibat proses yang tidak efisien atau sumber daya yang tidak mencukupi. Nilai dasar tersebut tidak kalah penting dari jaminan kepastian hukum.
Kedelapan, certainty. Maksud kepastian di sini adalah bahwa keputusan berasal dari aturan, prinsip, dan preseden yang telah ditetapkan, dan pada titik tertentu akan dianggap 'final' baik pada tingkat pertama atau melalui proses upaya hukum. Selain bermakna kesatuan hukum, kepastian juga dapat diartikan sebagai kepastian prosedur layanan.
Kesembilan, equality. Setiap warga negara, khususnya pencari keadilan, berhak mendapat perlakuan yang sama dari Badan Peradilan untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ini sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sertaPasal 4 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kesepuluh, integrity. Integritas ini meliputi transparansi dan kepatutan di antara proses, keputusan, dan pembuat keputusan. Keadilan tidak hanya harus diwujudkan, tetapi harus dilakukan secara transparan dan terlihat dengan jelas.
......
Selengkapnya/Sumber : https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/4965/pembaruan-peradilan-sebagai-ikhtiar-mewujudkan-court-excellence
Berita Terkait: